top of page

Malang Pisang Membusuk di Batang

  • Writer: Metawai Primate
    Metawai Primate
  • Dec 11, 2024
  • 6 min read

Updated: Oct 14

Penulis: Jefrial


Setandan pisang di pohon pisang

Pada bulan Juni dan Juli, kami memulai perjalanan panjang ke Pulau Pagai Utara, salah satu dari gugusan Kepulauan Mentawai. Misi kami adalah melakukan edukasi konservasi primata, sebuah langkah kecil untuk menjaga kekayaan alam yang masih alami di sana. Kami menetap di di rumah Pak Adreanus, di Dusun Gulu-Guluk, sebuah dusun kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sinilah kami benar-benar merasakan kehidupan orang Mentawai yang sederhana, penuh keramahan, dan selalu menyambut dengan tangan terbuka.

 

Di perjalanan menuju Dusun Gulu-Guluk, ada satu hal yang memenuhi penglihatan kami: pisang. Pohon-pohon pisang seakan menjadi latar belakang setiap sudut pemandangan. Perjalanan dari Sikakap ke Guluk-Guluk sepanjang jalan hanya dihiasi pohon-pohon pisang yang tumbuh subur. Pisang tampaknya tidak hanya menjadi bagian dari keindahan alam, tetapi juga bagian dari budaya dan kehidupan masyarakat Mentawai.

 

Pisang, Bagok, dan Sejarah yang Panjang

 

Di Mentawai, pisang disebut bagok. Pisang adalah makanan pokok yang menemani keseharian orang Mentawai, bersanding dengan keladi, sagu, dan beras. Saat kami melakukan asesmen, banyak masyarakat yang mengatakan bahwa pisang adalah salah satu makanan paling penting di antara banyak jenis makanan di Mentawai. Masyarakat menanamnya dengan mudah, dan hasilnya selalu melimpah.

 

Secara historis, pisang memang tumbuhan asli yang tumbuh di Asia Tenggara. Pisang sudah didomestikasi sejak lama oleh penduduk Melanesia maupun Austronesia yang datang ke kepulauan Indonesia. Asal-usul pisang yang dibudidayakan di dunia terutama berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, di mana spesies liar seperti Musa acuminata (genom A) dan Musa balbisiana (genom B) menjadi penyumbang utama. M. acuminata memberikan sifat seperti rasa manis, partenokarpi (tidak berbiji), dan kualitas buah yang lebih baik, sementara M. balbisiana menyumbangkan ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang buruk, toleransi kekeringan, daya tahan terhadap penyakit, serta kandungan bahan kering yang lebih tinggi. Spesies lain yang berkontribusi adalah Musa schizocarpa (genom S) dari Papua Nugini dan Musa textilis (genom T) dari Filipina, meskipun kontribusinya lebih terbatas.

 

Orang Austronesia memainkan peran penting dalam domestikasi dan penyebaran pisang dengan cermat memilih dan menyebarkan hibrida serta varietas tidak berbiji, yang memungkinkan adaptasi pisang ke berbagai lingkungan. Melalui praktik pertanian dan jaringan perdagangan mereka, pisang tersebar luas ke Asia Tenggara, Pasifik, dan wilayah lainnya, menjadikannya tanaman pokok yang penting di berbagai budaya hingga sekarang. Mereka membawa pisang ke berbagai tempat melalui jalur perdagangan dan migrasi, termasuk ke Kepulauan Mentawai. Pisang menjadi tanaman yang sangat beradaptasi dengan kondisi tropis sehingga tumbuh subur di kepulauan Mentawai ini.

 

Orang Mentawai sendiri merupakan kelompok masyarakat berbahasa Austronesia yang telah lama mendiami pulau ini. Orang Mentawai telah menjadikan pisang bagian penting dari kehidupan sehari-hari selama berabad-abad. Orang Mentawai adalah kelompok yang memiliki kedekatan kultural dengan Nias dan Batak. Bahasa Mentawai juga satu rumpun dengan bahasa Nias dan Batak, sehingga memiliki beberapa kemiripan tertama di bagian kosakata.

 

Setiap hari di rumah Pak Adreanus, kami selalu disuguhi pisang. Kadang ibuk membuat pisang goreng, pisang rebus, atau pisang yang dicampur dalam subet, bubur khas Mentawai. Subet pisang memiliki rasa yang unik, manis alami, dan menjadi salah satu makanan favorit kami selama tinggal di sana.

 


Subet, bubur khas Mentawai yang kaya rasa.
Subet, bubur khas Mentawai yang kaya rasa.

Pisang di Indonesia dan Mentawai

 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, produksi pisang di Indonesia mencapai sekitar 8,1 juta ton per tahun, menjadikannya salah satu produsen pisang terbesar di dunia. Pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatra, dan Sulawesi adalah penghasil utama pisang di Indonesia, dengan Provinsi Lampung menyumbang produksi tertinggi.

 

Namun, di Kepulauan Mentawai, angka produksinya jauh lebih kecil yaitu sekitar 120 ton setiap bulan, karena wilayah ini terdiri dari pulau-pulau terpencil dengan akses transportasi terbatas. Walaupun jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan daerah lain, produksi ini sangat signifikan mengingat luas wilayah dan jumlah penduduknya yang sedikit. Pisang ini sering kali ditanam secara tradisional tanpa menggunakan pupuk kimia, sehingga memiliki kualitas organik yang tinggi.

 

Jalan Berlumpur dan Pisang yang Membusuk

 

Namun, di balik keberlimpahan pisang ini, ada tantangan besar yang dihadapi masyarakat. Akses transportasi di Mentawai sangat buruk, terutama menuju Sikakap, pusat perekonomian. Ada dua jalan darat yang bisa digunakan, tetapi keduanya berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

 

Jalan pertama dibangun oleh pemerintah, sedangkan jalan kedua dibangun oleh perusahaan kayu. Keduanya tidak diaspal, hanya jalan tanah berlumpur dengan batu karang sebagai pelapis. Jika hujan turun, jalanan menjadi licin, berlubang, dan berbahaya. Beberapa lubang bahkan sedalam satu meter, membuat perjalanan semakin sulit.

 

Tidak jarang, mobil yang kami tumpangi terjebak di tengah jalan. Penduduk biasanya membawa batu karang untuk menutup lubang-lubang agar kendaraan bisa melintas. “Melihat mobil terpuruk di jalan itu sudah biasa,” kata Pak Adreanus. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu dua jam dari Guluk-Guluk ke Sikakap, sering kali memakan waktu hingga empat jam lebih.

 

Kondisi jalan ini berdampak langsung pada perekonomian masyarakat. Pisang yang melimpah sering kali membusuk di pohon karena tidak bisa diangkut ke pasar tepat waktu. Bahkan jika berhasil sampai ke Sikakap, harga pisang sering kali terlalu rendah untuk memberikan keuntungan yang berarti.

 

Di Guluk-Guluk, hanya ada dua mobil pick-up yang tersedia untuk mengangkut hasil bumi. Itu pun harus berbagi dengan banyak keluarga yang memiliki kebun pisang. Akibatnya, masyarakat hanya bisa menjual pisang dalam jumlah kecil, atau memilih membiarkannya membusuk di pohon karena biaya pengangkutan tidak sebanding dengan harga jual.

 

Eksperimen Olahan Pisang

 

Melihat kondisi ini, kami mencoba mengolah pisang menjadi produk yang lebih bernilai. Bersama ibu-ibu di sekitar rumah Pak Adreanus, kami bereksperimen membuat pisang goreng, pisang salai, keripik pisang, hingga godok pisang.

 


Mengolah pisang menjadi pisang salai.
Mengolah pisang menjadi pisang salai.

Awalnya, kami hanya ingin mencoba sesuatu yang baru, tetapi ternyata upaya sederhana ini menarik perhatian masyarakat sekitar. Para ibu datang melihat proses pembuatannya dan bertanya bagaimana cara membuatnya. Kami berbagi resep sederhana dan teknik-teknik mudah yang bisa mereka praktikkan di rumah.

 

“Kami tidak pernah berpikir bahwa pisang bisa diolah seperti ini,” kata seorang ibu sambil mencicipi pisang salai yang baru selesai dibuat. Ia tampak antusias untuk mencoba membuatnya sendiri.

 

Kami juga membagikan hasil olahan ini kepada tetangga sekitar, dan responsnya sangat positif. Rasanya menyenangkan melihat bagaimana sesuatu yang sederhana seperti pisang bisa menjadi peluang kecil untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

 

Tumpukan Pisang Yang Menggunung

 

Di sela-sela kegiatan, kami juga sempat mengunjungi dermaga di Pasapuat untuk mencari jaringan dan menghubungi tim yang berada di Padang. Dari kejauhan kami mepihat tumpukan benda berwarna hijau yang sangat banyak. Setelah kami cermati lagi, ternyata tumpukan benda hijau itu adalah pisang yang menggunung, bahkan melebihi tinggi mobil pick-up yang mengangkutnya. Pisang-pisang ini akan dikirim ke Sikakap menggunakan kapal. Pemandangan ini membuktikan betapa besar produksi pisang di Mentawai, meskipun tidak semua pisang berhasil sampai ke pasar.

 

Dermaga Pasapuat sendiri baru kembali aktif beberapa hari sebelum kegiatan kami selesai di Pagai Utara. Selama beberapa tahun sebelumnya, dermaga ini tidak berfungsi karena dianggap salah konstruksi, yang menyebabkan kerusakan pada kapal-kapal yang berlabuh di sana. Ketidakaktifan dermaga ini mengakibatkan penyaluran hasil alam, termasuk pisang, menjadi terhambat karena akses yang terbatas.

 

Pemandangan serupa juga kami temui saat berada di kapal feri menuju Padang. Bagian lambung kapal dipenuhi oleh pisang-pisang hijau dalam jumlah besar. Pisang-pisang ini berasal dari berbagai dusun di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dengan pengelolaan akses yang lebih baik, produksi pisang yang melimpah ini memiliki potensi besar untuk mendukung perekonomian daerah.

 


    Tumpukkan pisang dalam jumlah besar di dalam lambung kapal.
Tumpukkan pisang dalam jumlah besar di dalam lambung kapal.

Kaya Hasil Alam, Terbatas Infrastruktur

 

Mentawai adalah pulau yang kaya akan hasil alam. Mulai dari buah-buahan seperti pisang, durian, samung, hingga kelapa. Rempah-rempah seperti cengkeh, pinang, hingga minyak atsiri. Belum lagi ikan, udang dan berbagai macam hasil laut dari berbagai macam jenis, semuanya tersedia melimpah di sini. Namun, kekayaan ini seakan terkurung oleh buruknya infrastruktur dan minimnya fasilitas pengolahan hasil bumi. Menurut penelitian dari Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti, Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang produksi pisang cukup tinggi, tetapi selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 hasil produksi tanaman pisang mencapai 4.622,2 ton, dan pada tahun 2017 produksi pisang menurun menjadi 1.199,3 ton. Penurunan selama 4 tahun tersebut sangat drastis. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produksi pisang ini, salah satu faktor yang paling besar adalah akses penyaluran pisang yang memburuk setiap tahun.

 

Masyarakat Mentawai hidup sederhana, sebagian besar bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka memiliki semangat dan potensi besar, tetapi sering kali terkendala oleh hal-hal yang berada di luar kendali mereka, seperti jalan yang rusak dan harga pasar yang tidak stabil.

 

Harapan untuk Masa Depan

 

Meskipun begitu, ada harapan. Program kecil seperti edukasi konservasi dan eksperimen olahan pisang yang kami lakukan mungkin tidak berdampak besar secara langsung, tetapi ini adalah langkah awal untuk membawa perubahan.

 

Jika akses jalan diperbaiki dan masyarakat didukung dengan pelatihan tentang pengolahan hasil tani, Mentawai bisa menjadi salah satu daerah yang paling maju dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.

 

Kami berharap suatu hari nanti, pisang-pisang yang kini membusuk di pohon bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi yang dijual di pasar internasional. Kami juga berharap perjalanan dari Guluk-Guluk ke Sikakap tidak lagi menjadi tantangan, tetapi menjadi perjalanan yang mudah dan nyaman.

 

Mentawai adalah tempat yang kaya, bukan hanya karena alamnya, tetapi juga karena orang-orangnya. Di balik kehidupan sederhana mereka, ada semangat untuk belajar, beradaptasi, dan berkembang. Dan itu adalah aset terbesar yang dimiliki pulau ini.

Comments


bottom of page