Gadis Desa dengan Luatnya
- Addy Mukhziae
- Sep 22
- 5 min read

Penulis: Nur Azis Ariansyah
Mentawai, merupakan sebuah kepulauan yang ada di Sumatera Barat dan menjadi rumah bagi salah satu suku tertua di Nusantara. Alamnya yang asri dan tradisinya yang kuat menjadikan Mentawai tidak hanya unik tetapi juga kaya akan budaya. Di sebuah desa kecil di pulau ini, saya bertemu seorang gadis bernama Cilla. Cilla adalah gambaran sempurna dari kearifan lokal Mentawai. Kulitnya cokelat keemasan, matanya memancarkan kelembutan, dan senyumannya selalu membawa kehangatan. Di kepalanya, terikat sebuah aksesoris adat khas Mentawai yang terbuat dari manik-manik berwarna cerah.
Pertemuan pertama dengan Cilla
Matahari mulai terbenam ketika saya tiba di desa Cilla. Langit memerah, memberikan kesan dramatis pada hutan lebat yang mengelilingi desa itu. Anak-anak bermain kejar-kejaran di sekitar rumah, sementara para ibu sibuk menyiapkan makan malam di dapur mereka. Di teras sebuah rumah kecil, seorang gadis duduk dengan tenang. Tangan mungilnya dengan cekatan menyusun manik-manik kecil berwarna-warni. Ia tampak begitu serius, tetapi ada ketenangan dalam caranya bekerja.
"Selamat sore," sapa saya sambil mendekat.
Cilla mendongak dan tersenyum ramah. "Selamat sore, Kak. Apa yang bisa saya bantu?"
"Apa yang sedang kamu buat?" tanya saya, terpesona oleh pola indah yang mulai terbentuk di tangannya.
"Ini luat, Kak," jawabnya sambil menunjuk rangkaian manik-manik itu. "Aksesoris adat kami. Setiap pola dan warnanya punya cerita."
Rasa ingin tahu saya memuncak. "Boleh saya duduk dan mendengarkan ceritanya?"
"Tentu saja, Kak. Duduklah di sini," jawabnya sambil menunjuk sebuah bangku kayu kecil di sampingnya.
Cilla mulai bercerita, suaranya lembut dan penuh kebanggaan. “Luat sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Dulunya, nenek-nenek kami membuatnya dari biji-bijian dan batu yang diambil dari hutan. Ketika orang Eropa datang dan membawa manik-manik kaca, tradisi ini berkembang. Tapi arti dan maknanya tidak pernah berubah.”
“Jadi, luat ini lebih dari sekadar aksesoris?” tanya saya.
“Tentu saja, Kak. Luat adalah identitas kami. Kami memakainya saat acara penting seperti pernikahan, kelahiran, dan upacara adat. Ia juga melindungi kami dari hal-hal buruk,” katanya sambil menunjukkan pola unik di bagian tengah rangkaiannya.
“Bagaimana kamu belajar membuatnya?” saya kembali bertanya.
“Saya mulai belajar dari Ibu sejak kecil. Di sini, semua anak perempuan diajari cara membuat luat. Ini bukan hanya tentang keterampilan, tetapi juga tentang menjaga tradisi tetap hidup” jawabnya dengan bangga.
Luat bukan sekadar hiasan bagi suku Mentawai. Ia adalah simbol identitas, penghormatan, dan doa. Tradisi membuat dan mengenakan luat sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Setiap warna dan pola memiliki makna mendalam: merah melambangkan keberanian, hijau melambangkan kesuburan, dan kuning melambangkan harapan. Dalam setiap acara adat, baik itu pernikahan, kelahiran, atau ritual keagamaan, luat selalu hadir sebagai bagian penting. Para tetua suku percaya bahwa luat bukan hanya memperindah penampilan, tetapi juga melindungi pemakainya dari energi buruk.
Bagi perempuan Mentawai seperti Cilla, belajar membuat luat adalah bagian dari perjalanan hidup. Seni ini diwariskan secara turun-temurun dari ibu kepada anak perempuan. Melalui proses ini, para gadis tidak hanya belajar keterampilan, tetapi juga memahami filosofi dan cerita di balik setiap pola yang mereka buat.
Desa Cilla dan Kehidupan Sehari-hari
Desa tempat Cilla tinggal terletak di tengah rimbunnya hutan tropis. Rumah-rumah berdiri berjajar di atas tanah berumput, dikelilingi pepohonan besar yang menjadi saksi kehidupan sehari-hari warganya. Kehidupan di desa berjalan sederhana. Pagi dimulai dengan suara kokok ayam, diikuti aktivitas para ibu yang memasak di dapur. Sementara itu, para pria bersiap pergi ke hutan untuk berburu atau bertani.
Namun, bagi anak-anak seperti Cilla, pagi adalah awal dari perjalanan panjang menuju sekolah. Sekolah terletak di desa sebelah, yang jaraknya lebih dari tujuh kilometer dari rumah mereka. Perjalanan ini harus ditempuh dengan berjalan kaki, dikarenakan tidak adanya kendaraan atau angkutan umum menuju sekolah.
Saya mengikuti Cilla menjalani rutinitasnya. Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun untuk menyiapkan sarapan dan membantu adik-adiknya bersiap ke sekolah.
“Sekolahnya jauh?” tanya saya saat melihat Cilla memasukkan buku ke dalam tas usangnya.
“Lumayan, Kak. Sekitar tujuh kilometer dari sini,” katanya.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang melintasi hutan. Udara pagi begitu segar, dan suara burung-burung menciptakan harmoni alami yang indah. Namun, perjalanan ini cukup melelahkan dikarenakan jarak yang jauh dan memerlukan waktu kurang lebih dua jam perjalanan untuk mencapai tujuan.
“Tidak lelah berjalan sejauh ini setiap hari?” tanya saya sambil mengatur napas.
“Awalnya berat, Kak. Tapi lama-lama terbiasa” katanya sambil tersenyum. “Sekarang kita masih beruntung karna cuacanya bagus kak, Jika hujan jalan ini tidak akan bisa dilewati” Lanjutnya.
Dengan Spontan saya kembali bertanya “Lalu bagaimana caramu pergi ke sekolah?”
“ya belajar dirumah kak” Cilla menjawab Sambil tertawa.
“Kenapa kamu tidak berhenti saja sekolah?” saya bertanya.
“Tidak, Kak. Pendidikan itu penting. Kalau saya menyerah, apa yang bisa saya capai di masa depan?” jawabnya dengan tegas.
Saya kagum dengan semangatnya. Meskipun hidupnya penuh tantangan, ia menjalani semuanya dengan optimisme yang luar biasa. Dengan kondisi yang seperti ini Cilla tetap semangat menjalani pendidikan untuk mengejar impiannya.
Setelah pulang sekolah dan menyelesaikan tugas rumah, Cilla biasanya duduk di teras rumah untuk melanjutkan pekerjaannya membuat luat. Pekerjaan ini membutuhkan ketelitian tinggi. Membuat luat adalah cara baginya untuk menyatu dengan warisan budaya sekaligus menenangkan pikirannya. Ia menata manik-manik kecil yang penuh warna di atas alas kain, merangkai benang dengan telaten.
Sambil memperhatikan Cilla bekerja, saya mencoba menggali lebih dalam tentang impian Cilla. “Apa kamu punya impian besar, Cilla?”
Ia terdiam sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin tradisi ini tidak hilang. Saya ingin orang-orang tahu bahwa luat adalah bagian dari sejarah dan budaya kami. Kalau bisa, saya ingin luat buatan saya dikenal sampai ke luar Mentawai.”
“Dan kamu percaya itu bisa tercapai?”
“Tentu, Kak. Selama kita terus berusaha, saya yakin apa pun mungkin terjadi,” jawabnya penuh keyakinan.
Malam itu Cilla menyelesaikan luat-nya. Hasilnya begitu indah, dengan kombinasi warna merah, hijau, dan kuning yang mencerminkan keberanian, kesuburan, dan harapan. Sambil memegang luat itu, ia berbisik pada dirinya sendiri. “Semoga suatu hari, luat ini bisa membawa cerita Mentawai ke seluruh dunia.”
Perpisahan dengan Cilla
Ketika saya pamit meninggalkan desa, Cilla memberikan saya sebuah luat kecil. Polanya sederhana tetapi penuh makna.

“Terima kasih sudah datang ke sini, Kak. Saya harap cerita ini bisa dibagikan ke lebih banyak orang,” katanya.
“Cilla, kamu sangat menginspirasi. Saya pasti akan membawa cerita ini ke luar sana,” jawab saya. Saat meninggalkan desa itu, saya membawa lebih dari sekadar kenangan. Saya membawa pelajaran tentang kehidupan, semangat, dan pentingnya menjaga warisan budaya.
Kisah Cilla adalah cerminan kehidupan sederhana yang penuh makna. Di tengah keterbatasan, ia menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi dari cara kita menjalani hidup. Melalui luat-nya, Cilla tidak hanya menjaga tradisi suku Mentawai, tetapi juga membawa pesan kepada dunia bahwa kebudayaan adalah harta yang harus dilestarikan.
Gadis desa dengan luat-nya ini bukan hanya menjadi simbol semangat dan kemandirian, tetapi juga inspirasi bagi siapa saja yang ingin menjalani hidup dengan penuh cinta dan rasa syukur.



Comments