top of page

Badai Betumonga: Suara dari Tepi Samudera

  • Writer: Metawai Primate
    Metawai Primate
  • Dec 11, 2024
  • 3 min read

Updated: Oct 14

Penulis: Dela Lidia


Sebuah desa kecil yang terletak di tepi Samudra Hindia, Betumonga sangat bergantung pada laut untuk kebutuhan pangan, transportasi, dan penghidupan. Namun, ketika badai datang, laut berubah menjadi ancaman yang mengisolasi masyarakat. Di bulan-bulan badai, yang biasanya berlangsung dari bulan Juni hingga Oktober dengan puncaknya di bulan Agustus, desa ini seperti terkurung. Tidak ada perahu yang berani melaut, tidak ada barang kebutuhan yang bisa didatangkan dari luar, dan akses ke layanan kesehatan di Tuapejat, ibu kota kecamatan, menjadi sangat sulit.

 

Musim badai dan ombak tinggi di wilayah Sipora Utara, khususnya Betumonga sering terjadi akibat pengaruh angin kencang, kondisi cuaca ekstrem, serta letak geografisnya yang dekat dengan Samudra Hindia. Cuaca ekstrem ini sering dipicu oleh angin barat daya hingga barat laut yang dominan selama musim hujan, serta pergerakan monsun. BMKG juga telah mencatat peringatan gelombang tinggi dengan ketinggian lebih dari 2,5 meter di sekitar perairan Sipora, yang dipengaruhi oleh pola angin kuat di Samudra Hindia.

 

Beberapa kejadian mencatat dampak langsung terhadap masyarakat lokal, seperti yang dialami warga di Dusun Pukarayat, Desa Tuapejat, di mana gelombang tinggi telah merusak rumah-rumah dan jalanan terendam air laut. Babinsa dan BMKG mengimbau agar masyarakat tetap siaga, terutama ketika cuaca buruk dan angin kencang mendekat​

 

Pengaruh siklus bulan, seperti purnama, juga memperkuat pasang surut air laut, memperburuk dampak gelombang tinggi. Kombinasi dari pola cuaca ini menjadikan Sipora sebagai area yang rentan terhadap bencana pesisir, terutama selama musim penghujan atau saat ada tekanan rendah di Samudra Hindia. Untuk mitigasi, pemantauan prediksi cuaca dan gelombang tinggi dari BMKG sangat penting, serta persiapan masyarakat dalam menghadapi ancaman ini dengan langkah-langkah mitigasi yang lebih terorganisir.

 

 

Laut: Sumber Kehidupan yang Berubah Menjadi Batas

 

Menerjang ombak menuju Tuapejat.
Menerjang ombak menuju Tuapejat.

Bagi masyarakat Betumonga, laut adalah pusat kehidupan. Ia adalah ladang tempat mereka menangkap ikan dan lobster, jalur transportasi untuk keluar desa, serta penghubung ke dunia luar. Namun, badai yang datang membawa angin kencang dan ombak tinggi membuat semua aktivitas ini terhenti. Tidak ada perahu yang berani melaut. Tidak ada nelayan yang bisa menangkap ikan. Di saat seperti ini, dapur masyarakat bergantung sepenuhnya pada stok bahan makanan yang mereka simpan sebelumnya atau mereka harus mencari alternatif lain ke ladang.

 

Di laut, badai menghadirkan kekacauan. Ombak setinggi 1,5 hingga 2,5 meter menjadi pemandangan biasa, membuat perahu nelayan tak berani melaut. Angin kencang menambah bahaya, seolah ingin merobohkan siapa pun yang berani menantang samudra. Desa menjadi terputus dari dunia luar, tidak ada bahan pokok yang bisa didatangkan, dan tidak ada jalur transportasi yang aman.

 

Namun, tantangan tidak hanya terjadi di laut. Di darat, desa Betumonga menghadapi kekacauan tersendiri. Pohon kelapa bergoyang liar di bawah angin kencang, dan pantai penuh dengan sampah-sampah yang terbawa ombak—dari ranting kecil hingga batang pohon besar yang terseret dari hulu. Beberapa rumah di tepi pantai terkikis oleh air pasang yang menghantam tanpa ampun. 


Kondisi pantai Betumonga yang dipenuhi sampah pasca badai.
Kondisi pantai Betumonga yang dipenuhi sampah pasca badai.

Sementara itu, kehidupan di desa tetap berjalan meski dengan keterbatasan. Orang-orang hanya keluar rumah untuk mencari keladi atau pisang di ladang sebagai makanan pokok mereka. Anak-anak masih bermain, meski tidak bisa ke pantai karena terlalu berbahaya. Entah itu bermain di dalam rumah masing-masing atau mereka bertandang ke rumah temannya untuk bermain bersama di sana. Akses ke sekolah tetap ada, namun mereka harus berjalan di jalanan berlumpur dan basah oleh air hujan yang tiada henti.

 

Namun, badai tidak hanya memengaruhi penghidupan nelayan. Transportasi antar pulau juga terhenti total. Hal ini berdampak besar pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sering kali hanya bisa mengandalkan stok yang sudah mereka siapkan sebelumnya—dan itu pun tidak selalu cukup.

 

Musim badai adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi masyarakat Betumonga setiap tahun, tetapi bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi jika kita semua peduli dan mau bertindak. Salah satu solusi nyata yang dapat ditawarkan adalah pembangunan fasilitas kesehatan dasar di Betumonga, lengkap dengan tenaga medis yang mampu menangani kondisi darurat. Dengan adanya klinik di desa ini, masyarakat tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawa di tengah badai hanya untuk mendapatkan perawatan kesehatan. 

 

Selain itu, pengembangan infrastruktur darat menjadi kebutuhan mendesak. Jalan yang menghubungkan Betumonga dengan desa-desa tetangga akan menjadi alternatif penting ketika laut tidak bisa dilalui. Masyarakat juga membutuhkan peningkatan kapasitas melalui pelatihan penanganan darurat dan keterampilan bertahan hidup di tengah badai, agar mereka lebih siap menghadapi tantangan yang datang setiap tahunnya. 

 

Betumonga adalah bagian dari Indonesia yang kaya akan potensi, tetapi mereka membutuhkan perhatian kita untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Melalui kisah ini, saya ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama memberikan harapan dan perubahan nyata bagi masyarakat di sana.


Kisah lengkap 'Badai Betumonga: Suara dari Tepi Samudera' oleh Dela Lidia dapat Anda baca di buku Wave and Whisper: Stories from the Mentawai Archipelago SEGERA TERBIT!!!

Comments


bottom of page